Pemilihan Umum Tahun 1999 Pemilihan
Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan umum
tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda
multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam
menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Presiden Habibie kemudian
menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum
tersebut. Selanjutnya lima
paket undang-undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil
menetapkan tiga undang-undang politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan
pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani oleh Presiden Habibie. Ketiga
udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik, pemilihan umum,
susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Munculnya undang-undang politik yang
baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia.
Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan
dan bahkan tidak kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada
masa itu. Namun dari sekian banyak jumlahnya, hanya 48 partai politik yang
berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan karena aturan seleksi
partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat. Pelaksanaan pemilihan
umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari
partai-partai politik peserta pemilihan umum. Banyak pengamat menyatakan bahwa
pemilihan umum tahun 1999 akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya
pemilihan umum berjalan dengan lancar dan aman. Setelah penghitungan suara
berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasilnya lima besar
partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI Perjuangan,
Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai
Amanat Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir
pengumuman hasil perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan
aman dan dapat di terima oleh suara partai peserta pemilihan umum.
Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum
1999 Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan
MPR, maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999
diselenggarakan sejak tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien
Rais dikukuhkan menjadi Ketua MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR.
Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pidato pertanggung jawaban Presiden
Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322
menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan pertanggungjawaban
itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik Indonesia.
Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang
ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20
Oktober 1999, Yuhsril Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal
dua calon Presiden yang maju dalam pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati
Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden yang dilaksanakan secara voting,
Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Pada
tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan calonnya
Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian
dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999
Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil
membentuk Kabinet Persatuan Nasional.
Ø 1999
Kabinet
pertama Gus Dur,
Kabinet Persatuan Nasional, adalah
kabinet koalisi yang meliputi anggota berbagai partai politik: PDI-P, PKB,
Golkar, PPP, PAN, dan Partai Keadilan (PK). Non-partisan dan TNI juga ada dalam
kabinet tersebut. Wahid kemudian mulai melakukan dua reformasi pemerintahan.
Reformasi pertama adalah membubarkan Departemen Penerangan, senjata utama rezim
Soeharto dalam menguasai media. Reformasi kedua adalah membubarkan Departemen
Sosial yang korup.
Setelah satu
bulan berada dalam Kabinet Persatuan Nasional, Menteri Menteri Koordinator
Pengentasan Kemiskinan (Menko Taskin) Hamzah Haz mengumumkan pengunduran
dirinya pada bulan November. Muncul dugaan bahwa pengunduran dirinya
diakibatkan karena Gus Dur menuduh beberapa anggota kabinet melakukan korupsi
selama ia masih berada di Amerika Serikat. Beberapa menduga bahwa pengunduran
diri Hamzah Haz diakibatkan karena ketidaksenangannya atas pendekatan Gus Dur
dengan
Israel
Rencana Gus
Dur adalah memberikan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi
dan bukan kemerdekaan seperti referendum
Timor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan
mengurangi jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30
Desember, Gus Dur mengunjungi
Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya,
Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua bahwa ia
mendorong penggunaan nama Papua.
Ø 2000
Pada Januari
2000, Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri lainnya ke
Swiss untuk
menghadiri
Forum Ekonomi Dunia dan mengunjungi
Arab Saudi
dalam perjalanan pulang menuju Indonesia. Pada Februari, Wahid melakukan
perjalanan luar negeri ke Eropa lainnya dengan mengunjungi
Inggris,
Perancis,
Belanda,
Jerman, dan
Italia. Dalam
perjalanan pulang dari Eropa, Gus Dur juga mengunjungi
India,
Korea
Selatan,
Thailand,
dan
Brunei Darussalam. Pada bulan Maret, Gus Dur
mengunjungi
Timor Leste. Di bulan April, Wahid mengunjungi
Afrika
Selatan dalam perjalanan menuju
Kuba untuk menghadiri pertemuan
G-77, sebelum kembali melewati
Kota
Meksiko dan
Hong Kong. Pada bulan Juni, Wahid sekali lagi mengunjungi
Amerika, Jepang, dan Perancis dengan
Iran,
Pakistan, dan
Mesir sebagai tambahan baru ke dalam daftar negara-negara yang
dikunjunginya.
Ketika Gus
Dur berkelana ke Eropa pada bulan Februari, ia mulai meminta Jendral
Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan.
Gus Dur melihat Wiranto sebagai halangan terhadap rencana reformasi militer dan
juga karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur terhadap Wiranto.
Ketika Gus
Dur kembali ke Jakarta,
Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Gus Dur agar tidak
menggantikannya. Namun, Gus Dur kemudian mengubah pikirannya dan memintanya
mundur. Pada April 2000, Gus Dur memecat Menteri Negara Perindustrian dan
Perdagangan
Jusuf Kalla dan Menteri Negara BUMN
Laksamana
Sukardi. Alasan yang diberikan Wahid adalah bahwa keduanya terlibat dalam
kasus korupsi, meskipun Gus Dur tidak pernah memberikan bukti yang kuat. Hal
ini memperburuk hubungan Gus Dur dengan Golkar dan PDI-P.
Pada Maret
2000, pemerintahan Gus Dur mulai melakukan negosiasi dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua bulan
kemudian, pemerintah menandatangani
nota
kesepahaman dengan GAM hingga awal tahun 2001, saat kedua penandatangan
akan melanggar persetujuan. Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No.
XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme dicabut.
Ia juga
berusaha membuka hubungan dengan Israel, yang menyebabkan kemarahan
pada kelompok Muslim Indonesia. Isu ini diangkat dalam pidato Ribbhi Awad, duta
besar Palestina untuk Indonesia,
kepada parlemen Palestina tahun 2000. Isu lain yang muncul adalah keanggotaan
Gus Dur pada Yayasan
Shimon Peres. Baik Gus Dur dan menteri luar negerinya
Alwi Shihab
menentang penggambaran Presiden Indonesia yang tidak tepat, dan Alwi meminta
agar Awad, duta besar Palestina untuk Indonesia, diganti.
Dalam usaha
mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik, Gus Dur
menemukan sekutu, yaitu
Agus Wirahadikusumah, yang diangkatnya menjadi
Panglima
Kostrad
pada bulan Maret. Pada Juli 2000, Agus mulai membuka skandal yang melibatkan
Dharma Putra, yayasan yang memiliki hubungan dengan Kostrad. Melalui Megawati,
anggota TNI mulai menekan Wahid untuk mencopot jabatan Agus. Gus Dur mengikuti
tekanan tersebut, tetapi berencana menunjuk Agus sebagai Kepala Staf Angkatan
Darat. Petinggi TNI merespon dengan mengancam untuk pensiun, sehingga Gus Dur
kembali harus menurut pada tekanan.
Hubungan Gus
Dur dengan TNI semakin memburuk ketika Laskar Jihad tiba di
Maluku dan
dipersenjatai oleh TNI. Laskar Jihad pergi ke Maluku untuk membantu orang
Muslim dalam konflik dengan orang Kristen. Wahid meminta TNI menghentikan aksi
Laskar Jihad, namun mereka tetap berhasil mencapai Maluku dan dipersenjatai
oleh senjata TNI.
Muncul pula
dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Pada bulan
Mei,
Badan Urusan Logistik (BULOG) melaporkan
bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus
Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang.
Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur menuduhnya terlibat dalam
skandal ini. Skandal ini disebut skandal Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus
Dur juga dituduh menyimpan uang $2 juta untuk dirinya sendiri. Uang itu
merupakan sumbangan dari Sultan Brunei
untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan dana tersebut.
Skandal ini disebut skandal Bruneigate.
Sidang Umum
MPR 2000 hampir tiba, popularitas Gus Dur masih tinggi. Sekutu Wahid seperti
Megawati, Akbar dan Amien masih mendukungnya meskipun terjadi berbagai skandal
dan pencopotan menteri. Pada Sidang Umum MPR, pidato Gus Dur diterima oleh
mayoritas anggota MPR. Selama pidato, Wahid menyadari kelemahannya sebagai
pemimpin dan menyatakan ia akan mewakilkan sebagian tugas. Anggota MPR setuju
dan mengusulkan agar Megawati menerima tugas tersebut. Pada awalnya MPR
berencana menerapkan usulan ini sebagai TAP MPR, akan tetapi Keputusan Presiden
dianggap sudah cukup. Pada 23 Agustus, Gus Dur mengumumkan kabinet baru
meskipun Megawati ingin pengumuman ditunda. Megawati menunjukan
ketidaksenangannya dengan tidak hadir pada pengumuman kabinet. Kabinet baru
lebih kecil dan meliputi lebih banyak non-partisan. Tidak terdapat anggota
Golkar dalam kabinet baru Gus Dur.
Pada
September, Gus Dur menyatakan
darurat
militer di Maluku karena kondisi di sana
semakin memburuk. Pada saat itu semakin jelas bahwa Laskar Jihad didukung oleh
anggota TNI dan juga kemungkinan didanai oleh Fuad Bawazier, menteri keuangan
terakhir Soeharto. Pada bulan yang sama, bendera bintang kejora berkibar di
Papua Barat. Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora dikibarkan asalkan
berada di bawah bendera Indonesia.
Ia dikritik oleh Megawati dan Akbar karena hal ini. Pada 24 Desember 2000,
terjadi
serangan bom terhadap gereja-gereja di Jakarta
dan delapan kota lainnya di seluruh Indonesia.
Pada akhir
tahun 2000, terdapat banyak elit politik yang kecewa dengan Abdurrahman Wahid.
Orang yang paling menunjukan kekecewaannya adalah Amien. Ia menyatakan kecewa
mendukung Gus Dur sebagai presiden tahun lalu. Amien juga berusaha mengumpulkan
oposisi dengan meyakinkan Megawati dan Gus Dur untuk merenggangkan otot politik
mereka. Megawati melindungi Gus Dur, sementara Akbar menunggu pemilihan umum
legislatif tahun 2004. Pada akhir November, 151 anggota DPR menandatangani
petisi yang meminta
pemakzulan Gus Dur.
Ø 2001 dan Akhir Kekuasaan
Pada Januari
2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur
opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf
Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik
haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai
presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi
Australia.
Pada
pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur
menyatakan kemungkinan Indonesia
masuk kedalam
anarkisme.
Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi.
Pertemuan
tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk
mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang
Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa
walk
out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara
NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional
Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut.
Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di
Pasuruan.
Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada
bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai
presiden hingga mati.
Pada bulan
Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya.
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet
karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan
Nurmahmudi
Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan
dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan
Partai
Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur
mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir
dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota
kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.
Gus Dur mulai
putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko
Polsoskam)
Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan
keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari
jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam
reshuffle kabinet pada
tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang
Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga
menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan
kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan
dekret yang berisi
:
1) Pembubaran MPR/DPR.
2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan
3) Menyelamatkan gerakan reformasi total dari
hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai
Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR.
Namun dekret
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi
memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan
Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid
terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara
selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika
Serikat karena masalah kesehatan.
- Kelebihan dan Kekurangan
sistem Pemerintahan Abdurrahman
Wahid
A. Kelebihan sistem Pemerintahan
Abdurrahman Wahid
a)
Sukses melakukan kesepahaman dengan GAM. Pada Maret
2000
b)
Sukses membawa Indonesia ke Forum Ekonomi Dunia.
c)
Sukses melaksanakan persamaan hak menyatakan pendapat
di muka umum.
d)
Etnis Tioghoa yang berpuluh-puluh tahun dikekang
diberikan kebebasan sama seperti orang pribumi.
e)
Jadwal ketat kunjungan ke luar negeri menghasilkan
banyak mitra luar negeri.
f)
Sukses menggulingkan unsur-unsur sentrakistis dan
hierarkis yang represif (menindas) semasa pemerintahan Soeharto.
g)
Sukses mengurangi dukungan bagi kaum separatis GAM di
Aceh.
B. Kekurangan Sistem Pemerintahan
Abdurrahman Wahid
a) Semakin
maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
b) Munculnya
berbegai reaksi negatif dari rakyat atas usul Presiden Abdurrahman Wahid
mengenai pembatalan Ketetapan MPRS Tahun 1966 mengenai pelarangan ajaran
Marxisme-Leninisme.
c) Kesulitan
ekonomi semakin meluas.
d) Kerusuhan
antaretnis terus berlanjut.
e) Di
Aceh, kekerasan antarkaum separatis dan aparat keamanan terus terjadi.
f) Pemecatan
terhadap beberapa menteri yang memunculkan berbagai pro dan kontra di
masyarakat.
g) berusaha
membuka hubungan dengan Israel,
yang menyebabkan kemarahan pada kelompok Muslim Indonesia.
h) Muncul
dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate.
i)
Gus Dur memperbolehkan bendera bintang kejora
dikibarkan asalkan berada di bawah bendera Indonesia yang menimbulkan kritik
dari berbagai pihak bahkan Megawati dan Akbar juga mengkritik Gus Dur karena
hal ini.
j)
Pada 24 Desember 2000, terjadi serangan bom terhadap
gereja-gereja di Jakarta dan delapan kota
lainnya di seluruh Indonesia.